Kamis, 03 Juli 2014

Tradisi Omed-omedan di Bali

sumber : google.com


Bali memiliki banyak tradisi unik, salah satunya Omed-omedan di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar. Masyarakat awam lebih mengenalnya sebagai ciuman masal. Apakah semata ciuman? persepsi yang dilihat penonton bisa saja seperti itu karena mereka memang melihat peserta Omed-omedan merangkul dan berciuman. Kesan ini semakin kuat tatkala banyak media memberitakannya dengan judul liputan seperti Kissing Festival, Holy Kissing, atau Mass Kissing dibandingkan dengan memakai kata Omed-omedan.

Setelah menyaksikan dan coba memahami, kesan Omed-omedan sebagai ciuman masal sebenarnya tidak tepat. Kesan ini muncul karena penonton hanya menyaksikan saat muda-mudi tersebut saling merangkul, menarik dan mencium. Jarang diantara penonton mengetahui bagaimana tradisi ini disiapkan sebelum dan sesudahnya. Mungkin bagi sebagian orang, tidak ada hal yang lebih menarik selain menyaksikan hal tabu bisa dilakukan didepan umum.

Berciuman di tempat umum, apalagi tidak dengan pasangannya, merupakan hal tabu bagi sebagian besar masyarakat di Bali. Tentu ada sebab yang mendasari kenapa hal tabu kemudian bisa dilaksanakan. Omed-omedan berasal dari kata omed yang berarti tarik-tarikan. Sejatinya, inilah yang menjadi inti acara. Satu kelompok pemuda dan satu kelompok pemudi pada sisi berlawanan akan saling tarik dalam kegembiraan. Omed-omedan telah diwarisi sejak ratusan tahun lalu dan diyakini memiliki nilai sakral yang berhubungan dengan sesuhunan (manifestasi Tuhan yang dipuja masyarakat) di Pura Banjar Kaja. Selain itu, tradisi Omed-omedan sehari setelah Nyepi atau pada hari Ngembak Geni ini merupakan bentuk luapan kegembiraan dan kebersamaan masyarakat.

Pemuda-pemudi yang tergabung dalam kelompok Seka Teruna Satya Dharma menjalankannya sebagai wujud bakti kepada sesuhunan dan leluhur mereka. Sebelum memulai Omed-omedan, berbagai sarana dan prasarana upacara harus dipersembahkan terlebih dahulu di pura.Pemangku (rohaniawan) desa akan memimpin upacara yang dilanjutkan dengan persembahyangan bersama seluruh peserta.

Pukul 2 siang, pemuda-pemudi yang telah memisahkan diri dalam kelompoknya masing-masing berjalan beriringan menuju jalan raya di depan banjar. Ribuan penonton sudah memadati areal Omed-omedan menunggu saat-saat kegembiraan dimulai. Beberapa pemangkumelaksanakan tugas memercikkan tirtha (air suci) kepada peserta dan penonton. Tujuannya guna memohon kesucian dan agar acara dapat berjalan lancar.

Gamelan mengalun energik sebagai tanda kedua kelompok akan memulai Omed-omedan. Para tetua adat memilih siapa diantara pemuda-pemudi ini yang akan dipanggul untuk  didekatkan satu sama lain. Beberapa diantara mereka merupakan pasangan atau mungkin baru saling kenal saat itu. Dibimbing dan diawasi para tetua adat, masing-masing kelompok maju dan bertemu. Pemuda-pemudi yang dipanggul akan saling tarik, sedangkan kawan-kawannya mendorong sesaat lalu menarik kembali untuk memisahkannya.

Menurut tokoh Puri Oka, I Gusti Ngurah Oka Putra, pada saat saling tarik inilah pasti akan terjadi kontak fisik. Bisa berupa pelukan hingga kontak wajah yang akan diakhiri dengan ciuman atau tidak sama sekali. Semua tergantung mereka yang melakukannya atas dasar keyakinan dan bimbingan sesuhunan. Intinya, mencium bukan hal yang bisa dilakukan semaunya. Apalagi jika hanya didasari atas nafsu  karena bisa berakibat buruk bagi peserta dikemudiaan hari.

Ketika kedua kelompok berlawanan tersebut beradu, sorak ribuan penonton selalu mengiringi. Guyuran air melengkapi kegembiraan peserta dan penonton. Acara berlanjut hingga sebagian besar peserta memperoleh giliran. Setelah kurang lebih 2 jam Omed-omedan berakhir ditandai dengan tepukan tangan keatas bersama-sama.

Akhir keramaian Omed-omedan belum sepenuhnya akhir dari ritual. Di dalam pura peserta bergilir mencakupkan kedua tangan memohon tirtha dari para pemangku. Hal ini sebagai ungkapan syukur sekaligus memohon keselamatan pada Tuhan. Pada saat inilah sebagian peserta termasuk pemangku bisa tidak sadarkan diri. Mereka mengalami trance yang oleh masyarakat disebut kerauhan.  Beberapa diantara mereka berteriak, menari, menangis, hingga mengeluarkan ucapan-ucapan yang diyakini sebagai kehendak sesuhunan. Butuh waktu agar mereka bisa sadarkan diri dengan sarana tirtha yang dipercikkan oleh para pemangku.

Sebelum berakhir, pemangku kembali menghaturkan puja kehadirat Tuhan. Harapannya agar persembahan mereka bisa diterima dan mendatangkan keharmonisan bagi kehidupan masyarakat di Banjar Kaja. Melalui Omed-omedan masyarakat juga berharap bisa terus memupuk kesatuan, kesetiakawanan dan kebersamaan.

sumber : http://www.andisucirta.com/blog_detail.php?id=254

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat berarti bagi blogger untuk meninjau kemampuan yang dimiliki dan untuk membangun yang lebih baik lagi.! Suksma